BTN Menanggapi Temuan BPK

JAKARTA –  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kali menyoroti soal Bank Tabungan Negara (BTN). Di mana, BTN belum proaktif mengajukan potensi klaim asuransi kredit macet Rp366 miliar. Hal ini, menurut Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, BTN belum sepenuhnya melaporkan monitoring hasil realisasi klaim asuransi kredit macet yang telah terbayar.

Temuan BPK terkait dengan masih banyaknya rumah subdisi yang tidak berpenghuni atau kosong mendapat tanggapan BTN. Di mana, sebanyak 5.108 unit rumah yang didapatkan dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), serta selisih angsuran/bunga (SSA/SSB) belum dimanfaatkan debitur. Dari jumlah itu, ada 538 unit berasal dari cek fisik tim BPK. Selain itu, sebanyak 4.570 unit berasal dari laporan BTN.

Menanggapi ini Direktur Konsumer BTN, Handayani angkat bicara. Baginya, dalam penyaluran KPR subsidi bank telah mengikuti ketentuan Kementerian PUPR sesuai legal formal yang disyaratkan. “Antara lain adalah nasabah berpenghasilan maksimal Rp 4 juta untuk rumah tapak dan Rp 7 juta untuk rumah susun,” katanya, Rabu (4/10/2017).

Ketentuan yang lain adalah nasabah terkait keterangan belum pernah memiliki rumah dan pernyataan nasabah bahwa rumah akan ditempati. Setelah memperhatikan syarat legal formal tersebut, maka bank baru bisa memberikan fasilitas KPR subsidi.

Namun berdasarkan temuan BPK, mengapa banyak rumah subsidi yang kosong? Menurut Handayani, banyak hal yang menjadi penyebab. Pertama adalah nasabah melakukan pindah kerja ke kota lain. Kedua adalah akses ke lokasi yang belum memadai.

Ketiga terkait kualitas bangunan, namun jika ini terjadi developer wajib memenuhi sesuai persyaratan sesuai dengan peraturan Menteri. Pihaknya merasa selalu bekerjasama dengan kementerian dalam melakukan monitoring ketepatan sasaran pelaksanaan KPR sudidi agar memenuhi ketentuan yang disyaratkan.

Baca Juga :   PUPR Bangun Pengaman Pantai Riau, Untuk Amankan Kedaulatan Negara.

Sementara Chief Credit Officer BTN Nixon Napitupulu menjelaskan, apa yang dianggap BPK hanyalah persoalan administrasi. Namun, Nixon bercerita, tidak ada yang salah dari temuan BPK tersebut. “Hanya saja ada pemaknaan berbeda soal non performing loan (NPL). Yang namanya NPL itu bukan berarti kredit macet, tapi kredit bermasalah. Artinya, ada yang tidak lancar, diragukan, dan macet,” tuturnya.

Untuk klaim asuransi bernilai Rp366 miliar, Nixon menegaskan, tidak semuanya macet. BTN sudah melakukan klaim untuk yang macet sekitar Rp160 miliar, sekitar Rp70 miliar sudah berbalik lancar, dan sisanya dalam tahap verifikasi. “Dan itu tidak ada urusannya sama negara. Karena KPR Subsidi kalau terjadi NPL, maka klaim akan diajukan ke Askrindo dan Jamkrindo,” imbuh Nixon.

Nixon juga menuturkan, dalam proses penanganan NPL ada yang namanya restrukturisasi atau penataan ulang pembayaran utang. Apalagi, lanjut dia, KPR Subsidi erat kaitannya dengan masyarakat berpenghasilan rendah.

Adapun Nixon menyampaikan, sampai saat ini penyaluran KPR bersubsidi BTN tumbuh baik. Hingga Juni 2017, KPR subsidi BTN tumbuh 28,34 persen dari Rp49,86 triliun menjadi Rp63,99 triliun. Bahkan, level NPL KPR subsidi BTN terbilang rendah atau berada pada level 1,66 persen yang berarti masih baik. Adapun batas maksimum NPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 5 persen. (Febrian Osido/Nap/berbagai sumber)