Kementrian ESDM Belum Berencana Naikkan Kadar Biodiesel Diatas 30 %

Jakarta, inventori.co.id – Pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum berencana meningkatkan kadar biosolar lebih dari 30 % yang sudah diberlakukan sejak Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2015 perihal Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam peraturan tersebut, energi biodiesel komposisinya pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak solar yang menghasilkan produk biosolar B30 untuk setiap 1 liter biosolar.

Berdasarkan keterangan Direktur Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM, Dadan Kusdiana, bahwa program B30 hingga saat ini masih terus dijalankan untuk seluruh sektor. Namun, ada beberapa pengecualian diantaranya dipergunakan untuk peralatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di dataran tinggi, yang memang tidak sesuai dengan spesifikasi.

Dadan berpendapat bahwa Ditjen EBTKE tengah merekomendasikan beberapa skema percampuran Bioenergi. Diantaranya menggunakan B30 eksisting dengan biodiesel yang spesifikasinya sudah ditingkatkan serta jauh lebih baik.

“Atau skema lain B30 ini dicampur dengan green diesel D100,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/10).

Data Ditjen EBTKE mencatat serapan biodiesel tahun 2021 hingga penghujung September atau kuartal III baru mencapai 6,64 juta Kilo Liter (KL) atau 72,17 persen. Biodiesel akan ditingkatkan penggunaannya tidak hanya pada transportasi darat di masa akan datang.

“Ke depan tidak hanya biodiesel yang kita dorong, juga program biofuel lain yang berbasis sawit misalkan Bensa (Bensin Sawit), Bio Avtur, juga Bio CNG,” tuturnya.

Bioenergi bensin sawit dari minyak sawit (CPO) kini tengah masa uji coba hasil kerjasama Institut Teknologi Bandung (ITB), BPDP Sawit serta PT Pura Barutama selaku kontraktor lapangan yang nantinya memproduksi 1000 liter/hari. Menurut Dadan, produk Biosawit akan dikembangkan secara bersama dan sudah disiapkan daerah pengembangannya di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, serta di propinsi Riau, yang terletak di Kabupaten Palalawan.

Baca Juga :   Hari Jadi 18 Tahun, Geo Dipa Berhasrat Tuntaskan EBT dengan Terobosan saat Kenormalan Baru

Dadan pun mengatakan, energi compressed natural gas (CGN) yang dihasilkan dari hasil pemurnian biogas (Pure Methane) yang berasal dari limbah pun berpotensi sebagai bahan bakar otomotif, pembangkit listrik, kepentingan industri serta komersial.

“Jadi, kami akan kemas biogas ini menjadi seperti LPG jadi ditabungkan atau bisa juga ditransportasikan seperti jargas, jadi teknologinya sudah mulai dikuasai dan dilapangan sudah diterapkan, apabila kita kembangkan ke tempat lain akan bisa menjadi salah satu subsitusi dari program-program transisi energi, menggeser pemanfaatan fosil kepada EBT,” jelasnya.

Realisasi kapasitas pembangkit listrik EBT hingga triwulan III 2021 mencapai 386 Megawatt (MW). Tambahan pembangkit EBT di antaranya dari PLTA Poso Peaker 2nd Expansion Unit 1 dan 2 sebesar 130 MW, 12 unit PLTM sebesar 71,26 MW, 55 MW dari 2 unit PLTP, PLT Bioenergi 19,5 MW, tambahan dari PLTS Atap 17,88 MW.

Tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT, prognosa hingga Desember 2021, akan bertambah dari PLT Biomassa (dari limbah cair sawit) berkapasitas 10 MW berlokasi di Jawa Timur, yang ditargetkan akan COD (Commercial Operation Date) tahun ini. Juga akan ada penambahan 2 unit PLTP, yaitu PLTP Rantau Dedap dan PLTP Sokoria, berkapasitas total 91 MW, yang kemajuan pembangunannya sudah mencapai 90 persen. Penambahan lain berasal dari PLTS/PLTS Atap sebesar 27,54 MW dan PLTA dengan kapasitas 200 MW. Untuk skala kecil menengah, akan bertambah dari 13 PLTM dengan total kapasitas 395,57 MW.(WMP)