Kiblat Pajak di Tengah Kelesuan Ekonomi

Pemerintah memanjakan investor besar dan asing dengan berbagai kelonggaran. Sementara pajak bagi UKM dan koperasi dinilai tak berkeadilan.

ilustrasi dari: bisnin.com

INVENTORI.CO.ID – Sepanjang Januari hingga Agustus tahun ini hasil pendapatan pajak yang dibukukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menccapai Rp 598,27 triliun atau 46,22 persen dari target yang dibebankan Rp 1.294,26 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Hanya saja, realisasi penerimaan ini lebih rendah dibandingkan dengan perolehan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 604 triliun.

Di sisi lain, meski ekonomi terus melanda Bumi Pertiwi, namun pemerintah malah menambah target penerimaan pajak tahun depan. Kalangan legislator pun pesimis dengan target kenaikannya. Namun Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sesumbar bisa meraih target penerimaan perpajakan sebanyak Rp 1.368,5 triliun yang tertuang dalam  Rancangan APBN (RAPBN) 2016, atau meningkat 5,7 persen dibandingkan target APBN-P 2015. Dan, bila target pajak tersebut digabung dengan penerimaan bea dan cukai, maka tahun depan target penerimaan sektor perpajakan bertambah menjadi Rp 1.565,8 triliun atau lebih tinggi 5,13 persen dibandingkan target APBNP 2015 Rp 1.489,3 triliun.

“Pemerintah menilai target tersebut cukup wajar dengan mempertimbangkan perlambatan perekonomian tahun 2015 dan prospek tahun 2016 serta langkah ekstensifikasi dan intensifikasi yang dilakukan pemerintah,” ungkapnya akhir Agustus lalu.

Menyikapi ini Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri merasa Menkeu terlalu optimis, bahkan dianggap tak realistis. Sebab, dalam pandangannya target raksasa perpajakan dari tahun ke tahun mendapat koreksi. ” Prediksi pemerintah itu sudah berulang kali dikoreksi ke bawah, jadi tak kecil kemungkinan prediksi terakhir juga meleset,” sebutnya.

Faisal mencatat Bank Dunia pada Juli 2015 membuat prediksi penerimaan perpajakan Indonesia yang jauh lebih rendah dari estimasi pemerintah, yaitu Rp 1.165 triliun atau ada kekurangan (shortfall) sebesar Rp 324 triliun. “Angka shortfall itu Rp 204 triliun lebih tinggi ketimbang prediksi shortfall versi pemerintah. Jika kita menggunakan acuan shortfall versi Bank Dunia, maka target penerimaan pajak dalam RAPBN 2016 naik sebesar 34,4 persen. Artinya, target peneriman pajak 2016 lebih tinggi ketimbang 2015 sebesar 30 persen,” jelasnya.

Baca Juga :   Presiden Instruksikan Panglima TNI Tangani Wilayah Gempa yang Terisolir

Padahal, memang dewasa ini pemerintah diminta menurunkan beban pajak kepada bidang usaha. Alhasil, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159/PMK.010/2015  tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. PMK tersebut pada dasarnya merupakan paket kebijakan pemberian insentif berupa tax holiday bagi industri pionir. Serta, ada pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (tax allowance). Fasilitas  tax allowance dan tax holiday diharapkan mampu mendorong penanaman modal asing dan penanaman modal besar dalam negeri pada industri berketerkaitan luas, memberi nilai tambah disertai eksternalitas tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan dinilai strategis.

Anehnya, alih-alih memperbaiki iklim investasi, namun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) malah berencana memperluas pengenaan pajak properti dengan menurunkan batasan harga properti yang akan dipungut pajak. Caranya lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 106/PMK.010/2015 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Selain Kendaraan Bermotor yang dikenai PPnBM, pemerintah akan menurunkan batasan harga jual properti yang terkena pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM. Tak lagi, berdasarkan luas tertentu, tapi batasan harga jual yang kena pungutan pajak adalah properti dengan harga mulai Rp 2 miliar.

Mengerikannya lagi, aturan perpajakan dinilai tak berpihak pada usaha kecil dan menengah (UKM) serta koperasi yang notabene jumlahnya lebih banyak ketimbang investor besar dan asing. Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Agung Sudjatmoko merasa ada dua aturan pajak yang tidak adil, yaitu Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yang mengenakan pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima wajib pajak dari peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.  Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan yang mengenakan pajak sebesar 15 persen atas sisa hasil usaha (SHU).

Baca Juga :   Peresmian Tol Desari, Struktur Jaringan Jalan Kawasan Jabodetabek Semakin Lengkap

Menurutnya koperasi dan UKM turut taat pajak. Namun, semestinya mempunyai kelonggaran dan berkeadilan. “Pengenaan pajak atas penghasilan bruto tidak wajar. Karena bruto belum tentu ada untung. Di negara manapun tidak ada pengenaan pajak atas pendapatan bruto. Jika dinilai sistem pelaporannya tidak tertib, pemerintah yang harus memberikan pelatihan,” ujarnya.

Lalu beban pajak untuk sisa hasil usaha (SHU) koperasi yang terkena pajak, menyamakan dengan badan usaha lainnya. Aturan ini sesuai dengan UU No. 23 tahun 2008 tentang pajak penghasilan. Dan turunannya Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan. “Masak SHU kena pajak. Kedua aturan ini harus direvisi,” serunya.

Fasilitas Tax Allowance Buat Investor

– Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun;

– Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;

– Pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif lebih rendah;

– Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.