Komut PT Hosion Sejati Ditahan, Penyidik Dittipideksus Dianggap Berat Sebelah

Jakarta – Perselisihan petinggi PT Hosion Sejati (HS), antara KHW yang menjabat Komisaris Utama dengan ATS selaku Direktur perusahaan tersebut akan berlanjut ke meja hijau. Padahal, sebelumnya kedua orang tersebut membuat perjanjian akte perdamaian guna mencari solusi.

Menurut Kuasa Hukum KHW, Laurensius Ataupah dari RBS Law Firm, keadilan dan penanganan perkara kasus kedua petinggi PT HS itu bagai berat sebelah. Bagaimana tidak, sebab KHW kini ditahan polisi dan segera disidangkan ke meja hijau berkat laporan polisi ATS bernomor LP/B/727/VI/2018 pada 4 Juni 2018 di jajaran Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan dana perusahaan.

“Sudah ditahan oleh penyidik Dittipideksus Mabes Polri sejak 25 Februari 2019 lalu sampai sekarang. Padahal belum ada audit keuangan perusahaan PT HS. Kami sudah meminta adanya audit tapi belum ada jawaban,” jelasnya melalui keterangan pers di Jakarta, Kamis (2/5/2019).

Lauren menyebut kasus ini ada ketimpangan keadilan, yakni berat sebelah. Pasalnya, sebelum laporan ATS sudah ada pula laporan KHW tertanggal 3 Mei 2019. Laporan polisi bernomor LP/B/584/V/2018/Bareskrim itu dilayangkan KHW di Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan tuduhan penggelapan dan pemalsuan dokumen perusahaan.

Dia bercerita, ATS kala itu ditahan. Namun lantas dibebaskan lantaran adanya kesepakatan perdamaian yang dibuat dalam bentuk akte perdamaian yang dibuat pada 1 Februari 2019 lalu. Dimana, dalam isinya kedua belah pihak sepakat akan berdamai dan akan mencabut seluruh laporan polisi selama ini serta sepakat melepas kerja sama dalam perusahaan PT HS dan saling berbagi sesuai dengan porsi masing-masing.

“Penyidik di Dirtipidum menghentikan kasusnya dengan alasan penerapan keadilan restoratif atau restorative justice sesuai surat edaran (SE) Kapolri Nomor 8 Tahun 2018. Padahal ATS selama tiga hari ditahan sejak 29 Januari 2019. Dia dilepaskan atau ditangguhkan penahanannya pada 1 Februari 2019 karena yang bersangkutan buat surat perdamaian yang akhirnya setelah ke notaris dia batalkan dan pungkiri secara sepihak,” tuturnya.

Baca Juga :   Setya Novanto Plesiran Makan di Rumah Padang RSPAD, KPK Minta Ditjen PAS Tegas

Lauren lantas mempertanyakan penyidik Dittipideksus tidak melakukan hal serupa. “Apa mereka mengabaikan aturan yang dibuat Kapolri tersebut,” seru Lauren.

Baginya, penyidik Dittipideksus Mabes Polri bagai mengabaikan penerapan keadilan restoratif yang termaktub dalam surat edaran Kapolri nomor 8 tahun 2018 itu teruntuk kasus biasa, bukanlah kasus besar seperti peredaran narkoba, terorisme, dan korupsi, termasuk kasus yang tidak merugikan publik.

Lauren meyakinkan, keadilan restorative membawa harapan mengurangi kasus-kasus biasa sehingga tahanan di penjara yang kini sudah melebihi kapasitas. Hal ini menurutnya pula dipercaya mengurangi tunggakan perkara yang kian meningkat dan membantu mengatasi biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan perkara.

“Restorative justice merefleksikan keadilan sebagai bentuk keseimbangan dalam hidup manusia, sehingga perilaku menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku yang menghilangkan keseimbangan. Nah, di dalam restorative justice pelaku mengembalikan keseimbangan tersebut dengan cara pelaku dengan sadar mengakui kesalahan, meminta maaf dan mengembalikan kerugian korban,” akunya.

“Yang terjadi klien saya ditahan sejak tanggal 25 Februari lalu. Kemudian 15 Maret lalu diperpanjang hingga 26 April. Kami pernah mengajukan penangguhan penahanan dengan bukti akte perdamaian kepada penyidik Dittipideksus, tapi juga tidak digubris,” tambah Lauren.

Bagi Laurens, penahanan KHW menjadi bukti kalau ATS tak konsisten mematuhi aturan isi akte perdamaian yang salah satunya mencabut seluruh laporan polisi terkait dugaan tindak pidana kepada KHW. Serta, masih belum lengkap tuduhan yang dilayakankan kepada KHW lantaran belum adanya audit resmi keuangan PT HS.

IPW Tuding Adanya Pelanggaran Hukum dan Pelanggaran HAM
Di tempat terpisah Ketua Presideium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mempertanyakan sikap ngotot penyidik Dittipideksus melanjutkan perkara KHW, padahal sudah ada akta perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak di atas materai. Dia bahkan bertanya mengapa sebagai aparatur penegakan hukum malah mengabaikan dan melakukan pelanggaran hukum?

Baca Juga :   Peserta International Fun Swimming Dilepas Kazona Tengah Bakamla dan Wagub Sulut
Ketua Presidium IPW Neta S Panen/Foto: Facebook.com

“Bahkan, apa yang dilakukan Dittipideksus itu tidak sekadar pelanggaran hukum tapi juga sebuah pelanggaran HAM,” tudingnya.

Neta berkeyakinan, sebaiknya kasus dugaan penggelapan terhadap KHW yang tanpa adanya audit keuangan perusahaan ditambah perjanjian damai tersebut bisa dihentikan oleh penyidik. “Untuk menghindari tudingan tudingan negatif seharusnya jajaran Dittipideksus bersikap arif dan jangan mengedepankan arogansi dan segera menutup kasus itu,” sebutnya.

Baginya, apabila pihak bersengketa telah berdamai maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan sebuah perkara. “Artinya perkara tersebut harus ditutup. Memang sebelum berdamai, setelah perkaranya ditangani polisi, sebaiknya kedua pihak melibatkan polisi sebagai saksi, sehingga otomatis polisi mengetahui persis perdamaian itu,” tutupnya. (Hermansius)