Menggenjot Potensi Panas Bumi sebagai Energi Masa Depan

Jakarta, IVENTORI.CO.ID – Merealisasikan target bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 23% pada 2025 yang dicanangkan pemerintah tampaknya menjadi persoalan sulit. Pemerintah rasanya perlu melakukan dukungan penuh dan regulasi berkepastian jangka panjang untuk para pelaku usaha yang ingin mengembangkan potensi EBT.

Energi dari panas bumi merupakan salah satu solusi. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, untuk panas bumi potensinya mencapai 28,5 gigawatt (GW). Namun, yang terealisasi baru 2,1 GW.  Menurutnya, dibandingkan sumber energi baru terbarukan (EBT) lain, teknologi untuk pengembangan sumber panas bumi lebih kompetitif. Saat ini pemerintah tengah mencari formula yang tepat untuk menggenjot realisasi energi panas bumi.

Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mencontohkan, pengembangan sektor panas bumi yang ditargetkan sebesar 7.241,5 megawatt (MW) hanya mencapai 3.352,6 MW pada 2025. Dia pun memproyeksi target bauran EBT bisa tercapai pada 2030.

Terlebih, panas bumi (geothermal) juga terbukti terbilang ramah lingkungan. “Menurut International Energy Agency (IEA), emisi CO2 panas bumi hanya sekitar 75 gram/kWh. Sementara itu, emisi CO2 BBM sekitar 772 gram/kWh, dan PLT Batubara sebesar 995 gram/kWh,” katanya Juni lalu.

Pemanfaatan panas bumi memang terbukti dapat mengurangi emisi karbon, hal ini dibuktikan kontribusi pemanfaatan energi panas bumi terhadap penurunan emisi CO2 pada Tahun 2010 – 2013 mencapai 28.513.275 ton CO2. Sedangkan sesuai roadmap pengembangan panas bumi yang telah ditetapkan pemerintah, pada Tahun 2014 kontribusi pemanfaatan panas bumi untuk listrik sebesar 1.404,5 MW dengan target produksi listrik sebesar 10.067.652 MWh atau setara 6.183.303 SBM dan berkontribusi terhadap penurunan emisi CO2 Tahun 2014 sebesar 7.957.921 ton CO2.

Ida meyakinkan, pengembangan energi dari panas bumi juga membawa dampak pembangunan ekonomi multiplier effect. “ Panas bumi adanya di daerah-daerah dan di gunung-gunung. Sehingga apabila ada proyek pengembangan panas bumi, maka di daerah tersebut juga ada pengembangan infrastruktur. Dengan demikian, ekonominya ikut berkembang,” tegasnya.

Baca Juga :   2023, Geo Dipa Energi Garap WKP di Jawa Timur

Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menilai, investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) khususnya panas bumi sejatinya masih bisa bertahan di tengah pandemi covid-19 yang masih berlangsung. Namun, investor sangat membutuhkan kepastian regulasi untuk memudahkan investasi di sektor tersebut.

Perlu diketahui, pemerintah lewat Kementerian EESDM menargetkan investasi di sektor EBT sebesar US$ 2 miliar. Investasi tersebut diharapkan dapat mendongkrak kapasitas pembangkit EBT di Indonesia sebanyak 686 megawatt (MW) menjadi 10.843 MW di tahun ini. Khusus di subsektor panas bumi, target penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mencapai 140,1 MW menjadi 2.270,7 MW di tahun ini.

Ketua Asosiasi Panasa Bumi Indonesia Priyandaru Effendi mengaku, proyek-proyek panas bumi yang ada sebenarnya tetap berjalan walau Indonesia sedang dihadapkan musibah nonalam virus Corona. Dia meyakini pandemi ini bukan menjadi hambatan bagi pemerintah dalam mencapai target investasi EBT di tahun 2020. Namun, target investasi tersebut akan sulit tercapai jika regulasi seperti Peraturan Presiden (Perpres) Feed in Tarif EBT tak kunjung diterbitkan. Regulasi ini yang akan menjadi kunci ketertarikan investor untuk mengembangkan pembangkit panas bumi di Indonesia.

Faktor ketiadaan Perpres tersebut pula yang membuat beberapa kali pemerintah gagal menyelesaikan lelang wilayah kerja (WK) panas bumi pada tahun lalu. “Regulasi yang sekarang tidak menarik dari segi harga, karena di Jawa yang demand energinya besar justru biaya pokok produksi (BPP)-nya rendah. Ini bisa terjadi karena di sana dikuasai oleh PLTU,” ungkap dia.

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Permen ESDM No 4 Tahun 2020 sebagai perubahan kedua atas Permen ESDM No 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Namun, tidak ada perubahan harga jual pembangkit EBT yang diatur dalam beleid teranyar tersebut.

Baca Juga :   PEVS 2023 Dorong Pertumbuhan Industri Kendaraan Listrik dan Dukungan Pemerintah

“Kalau pemerintah bisa segera menyelesaikan masalah regulasi tersebut, maka peluang untuk menjaring investor EBT di masa pandemi menjadi lebih terbuka. Banyak investor tertarik masuk ke sektor panas bumi, karena punya multiplier effect yang besar,” imbuh dia.

Geo Dipa Energi sebagai satu-satunya BUMN panas bumi pun terus berupaya menggeliatkan usahanya. Perusahaan yang berada di bawah Kementerian Keuangan ini berencana menambah kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hingga 110 MW. Penambahan kapasitas direncanakan untuk pengembangan proyek PLTP Dieng Unit 2 dan Patuha Unit 2 masing-masing sebesar 55 MW. Adapun akitivitas fisik proyek akan dilaksanakan pada tahun 2020-2023.

Direktur Utama PT Geo Dipa Energi, Riki Firmandha Ibrahim, mengungkapkan proyek tersebut strategis bagi pengembangan investasi panas bumi di Indonesia. “Proyek ini juga akan menjadi pengalaman penting bagi pengembangan sektor energi panas bumi Indonesia dan berperan mendukung upaya pemerintah untuk menarik investasi sektor swasta di sektor ini, dengan mengurangi risiko di tahap awal pengembangan proyek,” jelasnya.

Geo Dipa Energi sendiri mendapatkan persetujuan pinjaman dari ADB sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,19 triliun. ADB juga mengelola pinjaman dari Clean Technology Fund (CTF) sebesar US$ 35 juta atau sekitar Rp 489,5 miliar untuk proyek tersebut pada 28 Mei 2020. Tentu hal ini menjadi stimulus dalam merealisasikan energi di masa mendatang. (Nap)